Sejarah
Berawal di akhir abad ke 19, perkembangan ketenagalistrikan di Indonesia mulai ditingkatkan saat beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik gula dan pabrik teh mendirikan pembangkit listrik untuk keperluan sendiri.
Antara tahun 1942-1945 terjadi peralihan pengelolaan perusahaan- perusahaan Belanda tersebut oleh Jepang, setelah Belanda menyerah kepada pasukan tentara Jepang di awal Perang Dunia II.
Proses peralihan kekuasaan kembali terjadi di akhir Perang Dunia II pada Agustus 1945, saat Jepang menyerah kepada Sekutu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pemuda dan buruh listrik melalui delegasi Buruh/Pegawai Listrik dan Gas yang bersama-sama dengan Pimpinan KNI Pusat berinisiatif menghadap Presiden Soekarno untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan tersebut kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pada 27 Oktober 1945, Presiden Soekarno membentuk Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik sebesar 157,5 MW.
Pada tanggal 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi BPU-PE-LI-NE (Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara) yang bergerak di bidang listrik, gas dan kokas yang dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1965. Pada saat yang sama, 2 (dua) perusahaan negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PE-LI-NE) sebagai pengelola tenaga listrik milik negara dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai pengelola gas diresmikan.
Pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17, status Perusahaan Listrik Negara (PE-LI-NE) ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum.
Seiring dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik, maka sejak tahun 1994 status PE-LI-NE beralih dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang.
Kegiatan positif
PT PE-LI-NE (Persero) mendorong komunitas melalui pembentukan kelembagaan untuk memperbaiki lingkungan melalui kegiatan konservasi yang berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat serta peningkatan produksi energi listrik.Keindahan Danau Cileunca dan Danau Cipanunjang, sayang jika perlahan menghilang ditelan masa. Dulu, penduduk sekitar kedua danau di wilayah Pengalengan, Jawa Barat itu bertanam kentang. Sebagai ma-tapencaharian tentu tak ada salahnya.
Namun, tanaman kentang yang berakar serabut itu perlahan-lahan menggerus dinding-dinding danau karena ia tak mampu menyimpan air, sehingga terjadi erosi. Plus, tanaman kentang yang membutuhkan pestisida tinggi membuat pencemaran kedua danau itu terjadi.
Hal ini mendapat perhatian serius dari PT PE-LI-NE (Persero), karena kedua danau tersebut merupakan sumber air untuk PLTA Plengan dan PLTA Kracak. Pendangkalan akibat erosi tentu mempengaruhi kinerja kedua PLTA itu. Melalu program Corporate Social Responsibility (CSR), menurut DR Dewi Setiani selaku Vice President CSR PT PE-LI-NE (Persero), kemudian dilakukan upaya sosialisasi kepada masyarakat setempat dengan mengajak mereka menanam pohon keras yang sesuai dengan kondisi teknis lahan yang ada.
"Perlahan masyarakat sekitar menanam pohon kopi, yang mampu memperbaiki lingkungan danau dan punya nilai ekonomi lebih tinggi," kala Dewi Setiani, mengisahkan. Keinginan menanam kopi masyarakat disalurkan melalui kelembagaan yang dibentuk dan menjadi wadah dari para petani untuk berbagai hal seperti forum tukar menukar pengalaman sampai pemasaran.
Dalam kelembagaan itu, dilakukan pengelolaan kotoran sapi untuk kompos sehingga lingkungan menjadi bersih danpendapatan meningkat karena daerah Pengalengan didominasi oleh pertanian, maKa kompos sangat dibutuhkan masyarakat. Juga, menumbuhkan kepercayaan pihak industri pembuat kerudung di Bandung yang meminta para ibu setempat untuk melakukan pekerjaan membordir sehingga menaikkan pendapatan keluarga dan merupakan kegiatan yang berhasil dalam pemberdayaan perempuan.
Saat ini, lingkungan danau sudah bersih, masyarakat mengharapkan dukungan berbagai pihak untuk mengembangkan kawasan itu menjadi tujuan wisata karena alam yang indah dan berhawa sejuK.
Kegiatan ini melibatkan sekitar 602 kepala keluarga dan dilakukan di lahan seluas 50 hektare dengan biaya lebih dari Rp 1,5 miliar. "Jika kegiatan ini berhasil akan mampu meningkatkan volume dan kualitas air untuk kedua PLTA tadi, yang merupakan pembangkit dengan biaya murah pada sistem kelistrikan maka secara otomatis akan meningkatkan pendapatan PE-LI-NE karena energi yang dibangkitkan pun meningkat," katanya.
Kegiatan CSR di lingkungan PE-LI-NE, dilakukan tersebar di seluruh Indonesia melalui unit-unit PE-LI-NE yang ada dengan pertimbangan utama Iebih fokus kepada community empowering yang memberikan dampak berkelanjutan untuk menciptakan masyarakat mandiri. "Kegiatan CSR yang dilakukan PE-LI-NE bukan hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan, sekaligus memberikan keuntungan bagi PE-LI-NE melalui ketersediaan air yang melimpah dan merupakan energi primer bersih serta murah bagi beberapa PLTA yang dikelola anak perusahaan PE-LI-NE," kata Dewi Setiani.
Dalam kegiatan CSR-nya, khususnya di Pengalengan ini, PE-LI-NE pun melibatkan pakar pertanian serta community development dari perguruan tinggi yang familiar dengan budaya masyarakat setempat. PE-LI-NE menjalin kerjasama dengan IPB dibantu LSM lokal. Dewi Setiani menegaskan, tanpa partisipasi aktif masyarakat maka proyek ini tidak akan berhasil secara berkelanjutan seperti yang diinginkan.
PE-LI-NE mengembangkan sebuah pola kerjasama yang disebut Kerjasama 3 (Tiga) Pihak atau ABG, yaitu "A" adalah Akademisi sebagai pihak yang bertanggung jawab secara teknis terhadap keseluruhan program. Kemudian "B" merupakan Business entity yang bertanggung jawab dalam aspek pembiayaan serta monitoring dalam hal ini adalah PE-LI-NE meskipun dimungkinkan PE-LI-NE bersama pihak lain kemudian "G" atau Government (pemerintah daerah) sebagai payung hukum dari kegiatan ini yang akan membantu dan menyediakan berbagai fasilitas yang dimiliki untuk keperluan sosialisasi serta mobilisasi sebuah kegiatan bersama.
Kegiatan CSR yang dilakukan PE-LI-NE di Pengalengan tersebut memperoleh penghargaan dari program Millennium Development Goals (MDGs) Award 2008, sebagai sebuah usaha untuk membantu menciptakan suatu kegiatan pada komunitas yang membuat terjadinya perbaikan bagi lingkungan di tempat kegiatan itu. Serta, mampu mendorong terjadinya kegiatan yang meningkatkan pendapatan masyarakat. Dan, PE-LI-NE sudah melakukan itu.
Hal ini mendapat perhatian serius dari PT PE-LI-NE (Persero), karena kedua danau tersebut merupakan sumber air untuk PLTA Plengan dan PLTA Kracak. Pendangkalan akibat erosi tentu mempengaruhi kinerja kedua PLTA itu. Melalu program Corporate Social Responsibility (CSR), menurut DR Dewi Setiani selaku Vice President CSR PT PE-LI-NE (Persero), kemudian dilakukan upaya sosialisasi kepada masyarakat setempat dengan mengajak mereka menanam pohon keras yang sesuai dengan kondisi teknis lahan yang ada.
"Perlahan masyarakat sekitar menanam pohon kopi, yang mampu memperbaiki lingkungan danau dan punya nilai ekonomi lebih tinggi," kala Dewi Setiani, mengisahkan. Keinginan menanam kopi masyarakat disalurkan melalui kelembagaan yang dibentuk dan menjadi wadah dari para petani untuk berbagai hal seperti forum tukar menukar pengalaman sampai pemasaran.
Dalam kelembagaan itu, dilakukan pengelolaan kotoran sapi untuk kompos sehingga lingkungan menjadi bersih danpendapatan meningkat karena daerah Pengalengan didominasi oleh pertanian, maKa kompos sangat dibutuhkan masyarakat. Juga, menumbuhkan kepercayaan pihak industri pembuat kerudung di Bandung yang meminta para ibu setempat untuk melakukan pekerjaan membordir sehingga menaikkan pendapatan keluarga dan merupakan kegiatan yang berhasil dalam pemberdayaan perempuan.
Saat ini, lingkungan danau sudah bersih, masyarakat mengharapkan dukungan berbagai pihak untuk mengembangkan kawasan itu menjadi tujuan wisata karena alam yang indah dan berhawa sejuK.
Kegiatan ini melibatkan sekitar 602 kepala keluarga dan dilakukan di lahan seluas 50 hektare dengan biaya lebih dari Rp 1,5 miliar. "Jika kegiatan ini berhasil akan mampu meningkatkan volume dan kualitas air untuk kedua PLTA tadi, yang merupakan pembangkit dengan biaya murah pada sistem kelistrikan maka secara otomatis akan meningkatkan pendapatan PE-LI-NE karena energi yang dibangkitkan pun meningkat," katanya.
Kegiatan CSR di lingkungan PE-LI-NE, dilakukan tersebar di seluruh Indonesia melalui unit-unit PE-LI-NE yang ada dengan pertimbangan utama Iebih fokus kepada community empowering yang memberikan dampak berkelanjutan untuk menciptakan masyarakat mandiri. "Kegiatan CSR yang dilakukan PE-LI-NE bukan hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan, sekaligus memberikan keuntungan bagi PE-LI-NE melalui ketersediaan air yang melimpah dan merupakan energi primer bersih serta murah bagi beberapa PLTA yang dikelola anak perusahaan PE-LI-NE," kata Dewi Setiani.
Dalam kegiatan CSR-nya, khususnya di Pengalengan ini, PE-LI-NE pun melibatkan pakar pertanian serta community development dari perguruan tinggi yang familiar dengan budaya masyarakat setempat. PE-LI-NE menjalin kerjasama dengan IPB dibantu LSM lokal. Dewi Setiani menegaskan, tanpa partisipasi aktif masyarakat maka proyek ini tidak akan berhasil secara berkelanjutan seperti yang diinginkan.
PE-LI-NE mengembangkan sebuah pola kerjasama yang disebut Kerjasama 3 (Tiga) Pihak atau ABG, yaitu "A" adalah Akademisi sebagai pihak yang bertanggung jawab secara teknis terhadap keseluruhan program. Kemudian "B" merupakan Business entity yang bertanggung jawab dalam aspek pembiayaan serta monitoring dalam hal ini adalah PE-LI-NE meskipun dimungkinkan PE-LI-NE bersama pihak lain kemudian "G" atau Government (pemerintah daerah) sebagai payung hukum dari kegiatan ini yang akan membantu dan menyediakan berbagai fasilitas yang dimiliki untuk keperluan sosialisasi serta mobilisasi sebuah kegiatan bersama.
Kegiatan CSR yang dilakukan PE-LI-NE di Pengalengan tersebut memperoleh penghargaan dari program Millennium Development Goals (MDGs) Award 2008, sebagai sebuah usaha untuk membantu menciptakan suatu kegiatan pada komunitas yang membuat terjadinya perbaikan bagi lingkungan di tempat kegiatan itu. Serta, mampu mendorong terjadinya kegiatan yang meningkatkan pendapatan masyarakat. Dan, PE-LI-NE sudah melakukan itu.
Manfaat
Terlepas mahal atau tidaknya biaya listrik, masyarakat akan tetap berterimakasih pada Perusahaan Listrik Negara (PE-LI-NE), sebab kehadiran listrik sangat bermanfaat bagi kehidupan. Tapi, tidak ada kata “terimakasih” untuk PE-LI-NE bagi sebagian masyarakat Cimahi. Karena, sekitar 48.753 rumah tangga (RT) warga kota Cimahi belum merasakan nikmatnya hidup dengan kehadiran listrik (PR, 8/10/09). Walaupun jumlah sebanyak itu diperoleh Badan Pusat statistik (BPS) pada tahun 2008, yang pasti sampai sekarang
pun Sebagian rumah warga Cimahi masih ada yang belum teraliri listrik. Seperti yang dikemukakan PE-LI-NE APJ Kota Cimahi, bahwa lebih 80% wilayah Cimahi sudah teraliri listrik. Berarti sekitar dua puluh persenan wilayah Cimahi masih belum teraliri listrik.
Hal ini tentu saja sangat mengejutkan. Pasalnya, disamping Cimahi telah menjadi kota, kehadiran listrik pun sangat banyak manfaatnya bagi kehidupan, bahkan bisa jadi itu suatu kebutuhan pokok mengingat era sekarang. Salah satu manfaat listrik adalah untuk kemudahan rumah tangga, pendidikan (sekolah), produksi (industri), kesehatan (Rumah Sakit), dan lain sebagainya.
Salah satu pengaruh kehadiran listrik yang terpenting—yang lain juga sangat penting—adalah terhadap dunia pendidikan. Kita bisa membayangkan bagaimana kondisi suatu lembaga pendidikan tanpa menggunakan manfaat listrik. Memang pendidikan bisa dijalankan dalam situasi apa pun. Akan tetapi, bisa kah pendidikan tersebut berkembang dan berjalan dengan baik tanpa adanya listrik? Tentu hal itu akan sulit.
Salah satu faktor pendukung pendidikan ialah kelengkapan pasilitas (media pendidikan). Pasilitas pendidikan merupakan sesuatu yang bisa membantu kelancaran pendidikan, baik proses belajar-mengajar, administrasi, pengelolaan pendidikan, dan media-media pendidiakan yang bersifat elektrik (menggunakan listrik).
Di zaman sekarang, pengelolaan pendidikan yang bersifat administrasi perbukuan (penulisan) hampir rata-rata menggunakan kompuer dibanding mesin tik, sebab hal itu mudah dilakukan, lebih praktis dan hasilnya pun bagus. Di samping itu, proses-belajar mengajar pun menuntut adanya media pembelajaran demi kemudahan proses pembelajaran atau pendidikan. Misalnya media audio, audio-visual, atau alat-alat praktek lain yang membutuhkan listrik. Dan diantara hal-hal tersebut yang juga sangat penting adalah cahaya yang terang.
Cahaya memang bisa didapatkan dari lampu-lampu minyak, lilin dan patromak, tapi efektipitas dan efisiensinya tidak sebaik dan seterang lampu beraliran listrik. Nah, kalau saja tidak ada listrik, bisa dibayangkan apa yang dilakukan para siswa sekolah saat malam hari? Mereka akan kesulitan untuk belajar.
Selain itu, pengetahuan siswa terhadap hal-hal kekomputeran (operasional komputer atau pengetahuan tentang dunia Cyberspace, internet, yang pasilitasnya menggunakan komputer) akan sangat terbatas. Padahal, komputer—untuk zaman sekarang—merupakan kebutuhan yang sangat penting. Dengan tidak adanya listrik, dunia pendidikan (lembaga, guru dan muridnya) akan sangat sulit berkembang, bisa jadi monoton—kalau tidak mau mengatakannya ketinggalan zaman. Dan, kita tahu, ketidak berkembangan pendidikan itu mempunyai pengaruh buruk pada suatu masyarakat, terkhusus dalam aspek pengetahuan.
Oleh karena itu, sekiranya pemerintah terkhusus PE-LI-NE memperhatikan hal ini dengan serius, kalau pun tidak dijadikan prioritas. Karena, bukan hanya sebagian kecil wilayah Cimahi saja yang belum teraliri listrik, tapi wilayah-wilayah lain di Inodesia pun masih ada yang yang belum teraliri listrik. Manfaat dan pengaruh listrik pada kehidupan itu bisa menentukan berkembang atau tidaknya suatu pendidikan diwilayah tersebut. Lagi pula, listrik tidak hanya berpengaruh terhadap dunia pendidikan tapi aspek-aspek yang lain pun berpengaruh.
Listrik memang bisa dihasilkan tidak dari PE-LI-NE saja, akan tetapi efektifitas dan efisiensinya tidak sebaik dan seluas PE-LI-NE. Kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, sedikit-banyaknya bisa memberi dampak tidak baik pada perkembangan pendidikan. Di satu wilayah pendidikan berkembang atau maju dengan baik, tapi di wilayah yang lain pendidikan tidak berkembang. Bahkan, bisa dikatakan mengalami kemunduran jika kondisi pendidikan diwilayah tidak teraliri listrik tetap saja seperti zaman pralistrik, sedangkan di wilayah lain perkembangan pendidikan maju dengan pesat.
Kalau situasinya seperti itu, tidak berlebihan jika mengatakan, pemerataan di Indonesia itu tidak berjalan dengan baik, atau—mungkin—tidak ada. Tentu siapa pun tidak menginginkan hal tersebut, terlebih ketidak merataan pada dunia pendidikan. Sebab pemerataan pendidikan tetap menjadi suatu indikator kemajuan suatu bangsa.
Rakyat percaya pemerintah berupaya keras memberikan yang terbaik pada masyarakat, termasuk pemerataan pendidikan. Adanya sekolah gratis itu bisa jadi bukti upaya keras dan sungguh-sungguh pemerintah untuk meningkatkan pendidikan. Namun, hal-hal yang mendukung terlaksananya pendidikan itu pun sangat penting untuk diwujudkan. Tentu kemonotan pada dunia pendidikan tidak kita kehendaki. Nah, untuk mengantisipasi hal itu, segala sesuatu yang mendukung kelancaran pendidikan harus dilakukan, termasuk pemerataan aliran listrik di wilayah-wilayah Indonesia yang belum teraliri.
Hal ini tentu saja sangat mengejutkan. Pasalnya, disamping Cimahi telah menjadi kota, kehadiran listrik pun sangat banyak manfaatnya bagi kehidupan, bahkan bisa jadi itu suatu kebutuhan pokok mengingat era sekarang. Salah satu manfaat listrik adalah untuk kemudahan rumah tangga, pendidikan (sekolah), produksi (industri), kesehatan (Rumah Sakit), dan lain sebagainya.
Salah satu pengaruh kehadiran listrik yang terpenting—yang lain juga sangat penting—adalah terhadap dunia pendidikan. Kita bisa membayangkan bagaimana kondisi suatu lembaga pendidikan tanpa menggunakan manfaat listrik. Memang pendidikan bisa dijalankan dalam situasi apa pun. Akan tetapi, bisa kah pendidikan tersebut berkembang dan berjalan dengan baik tanpa adanya listrik? Tentu hal itu akan sulit.
Salah satu faktor pendukung pendidikan ialah kelengkapan pasilitas (media pendidikan). Pasilitas pendidikan merupakan sesuatu yang bisa membantu kelancaran pendidikan, baik proses belajar-mengajar, administrasi, pengelolaan pendidikan, dan media-media pendidiakan yang bersifat elektrik (menggunakan listrik).
Di zaman sekarang, pengelolaan pendidikan yang bersifat administrasi perbukuan (penulisan) hampir rata-rata menggunakan kompuer dibanding mesin tik, sebab hal itu mudah dilakukan, lebih praktis dan hasilnya pun bagus. Di samping itu, proses-belajar mengajar pun menuntut adanya media pembelajaran demi kemudahan proses pembelajaran atau pendidikan. Misalnya media audio, audio-visual, atau alat-alat praktek lain yang membutuhkan listrik. Dan diantara hal-hal tersebut yang juga sangat penting adalah cahaya yang terang.
Cahaya memang bisa didapatkan dari lampu-lampu minyak, lilin dan patromak, tapi efektipitas dan efisiensinya tidak sebaik dan seterang lampu beraliran listrik. Nah, kalau saja tidak ada listrik, bisa dibayangkan apa yang dilakukan para siswa sekolah saat malam hari? Mereka akan kesulitan untuk belajar.
Selain itu, pengetahuan siswa terhadap hal-hal kekomputeran (operasional komputer atau pengetahuan tentang dunia Cyberspace, internet, yang pasilitasnya menggunakan komputer) akan sangat terbatas. Padahal, komputer—untuk zaman sekarang—merupakan kebutuhan yang sangat penting. Dengan tidak adanya listrik, dunia pendidikan (lembaga, guru dan muridnya) akan sangat sulit berkembang, bisa jadi monoton—kalau tidak mau mengatakannya ketinggalan zaman. Dan, kita tahu, ketidak berkembangan pendidikan itu mempunyai pengaruh buruk pada suatu masyarakat, terkhusus dalam aspek pengetahuan.
Oleh karena itu, sekiranya pemerintah terkhusus PE-LI-NE memperhatikan hal ini dengan serius, kalau pun tidak dijadikan prioritas. Karena, bukan hanya sebagian kecil wilayah Cimahi saja yang belum teraliri listrik, tapi wilayah-wilayah lain di Inodesia pun masih ada yang yang belum teraliri listrik. Manfaat dan pengaruh listrik pada kehidupan itu bisa menentukan berkembang atau tidaknya suatu pendidikan diwilayah tersebut. Lagi pula, listrik tidak hanya berpengaruh terhadap dunia pendidikan tapi aspek-aspek yang lain pun berpengaruh.
Listrik memang bisa dihasilkan tidak dari PE-LI-NE saja, akan tetapi efektifitas dan efisiensinya tidak sebaik dan seluas PE-LI-NE. Kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, sedikit-banyaknya bisa memberi dampak tidak baik pada perkembangan pendidikan. Di satu wilayah pendidikan berkembang atau maju dengan baik, tapi di wilayah yang lain pendidikan tidak berkembang. Bahkan, bisa dikatakan mengalami kemunduran jika kondisi pendidikan diwilayah tidak teraliri listrik tetap saja seperti zaman pralistrik, sedangkan di wilayah lain perkembangan pendidikan maju dengan pesat.
Kalau situasinya seperti itu, tidak berlebihan jika mengatakan, pemerataan di Indonesia itu tidak berjalan dengan baik, atau—mungkin—tidak ada. Tentu siapa pun tidak menginginkan hal tersebut, terlebih ketidak merataan pada dunia pendidikan. Sebab pemerataan pendidikan tetap menjadi suatu indikator kemajuan suatu bangsa.
Rakyat percaya pemerintah berupaya keras memberikan yang terbaik pada masyarakat, termasuk pemerataan pendidikan. Adanya sekolah gratis itu bisa jadi bukti upaya keras dan sungguh-sungguh pemerintah untuk meningkatkan pendidikan. Namun, hal-hal yang mendukung terlaksananya pendidikan itu pun sangat penting untuk diwujudkan. Tentu kemonotan pada dunia pendidikan tidak kita kehendaki. Nah, untuk mengantisipasi hal itu, segala sesuatu yang mendukung kelancaran pendidikan harus dilakukan, termasuk pemerataan aliran listrik di wilayah-wilayah Indonesia yang belum teraliri.